Nama
para Walisongo
Dari nama para
Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai
anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
|
|
|
Maulana Malik
Ibrahim adalah keturunan
ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau
Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana
Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid
Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam
Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam
Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat
Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil
Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid
Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad
bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad
Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia
diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad
ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.
Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Isteri Maulana
Malik Ibrahim
Maulana
Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam
Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama:
Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir,
memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan
Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu:
Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim
dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan
melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan
Ngudung).
Selanjutnya
Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan
Kudus].Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang
mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan
banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang
tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun
pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim
wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik,
Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan
ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa
yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming.
Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin
Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid
Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin
Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad
Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin
Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin
Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sunan
Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya
bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat
penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang
bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah
juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan
Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan
Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti
Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning,
berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden
Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan
Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan
merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai
Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak
berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama
Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo
Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab
dan bonang,
yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa
Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J.
Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya.
Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah Tuban,
Jawa Timur.
Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan
merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Nama asli dari sunan drajat adalah masih
munat. masih munat nantinya terkenal dengan nama sunan drajat. Nama sewaktu
masih kecil adalah Raden Qasim. Sunan drajat terkenal juga dengan kegiatan
sosialnya. Dialah wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang
sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati
Tuban bernama Arya Teja.
Sunan
Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan
kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai
pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri
sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur
disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di
Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada
1522.
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil
atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti
Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali
Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad
Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang
wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat
Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah
di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa.
Di
antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu
peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya
bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun
1550.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara
seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik;
yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan
Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya
yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah
Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang
bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur
(Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk.
Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap
sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah
dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh
Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.
Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra
Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama
Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri
Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.
Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif
Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar.
Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak
dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan
Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian
menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan
kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi
cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Tokoh pendahulu Walisongo
Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra /
Husain Jamaluddin al akbar bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik
Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam
bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad
Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari
isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan
Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad
dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya terdapat
di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat
Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan
kuburnya
PENYEBAR AGAMA ISLAM DI LUAR JAWA
Hamzah
Fansuri hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda sekitar tahun 1590 M. Pembaharuan intelektualnya tidak hanya di Fansur,
Aceh juga ke India, Persia, Makkah dan Madinah.
Selesai pengembaraan intelektual
Hamzah Fansuri kembali ke kampung halamannya di Fansur, Aceh untuk mengajarkan
keilmuan yang diperolehnya dari guru-guru yang didatanginya di negeri-negeri
yang disinggahi. Ia mengajarkan keilmun Islam di Dayah (pesantren) di Oboh
Simpangkanan, Singkel.
Hamzah Fansuri bukan hanya sebagai
seorang ulama, sufi, sasterawan terkemuka, juga sebagai perintis pengembangan
peradaban Islam di Nusantara. Pemikiran dan kritikannya yang sangat tajam
mengenai perilaku politik dan moral para raja dan bangsawa, menyebabkan ia
tidak begitu disukai oleh kalangan elit ini. Karenanya sangat wajar bila di
dalam karya Hikayat Aceh maupun Bustanussalatin, tidak sedikitpun nama Hamzah
Fansuri disinggung namanya.
Meskipu demikian Hamzah Fansuri mempelopori
penulisan risalah tasawuf yang cukup sistematis dan dapat dipahami karena
ditulis dalam bahasa Melayu. Ia juga menulis puisi-puisi filosofis da mistis
berorak Islam, yang kedalaman isinya sukar ditandingi dengan penyair lain yang
hidup sezaman. Ia juga memperkenalkan syair puisi emapat baris dengan skema
sajak a-a-a-a. Syair yang diperkenalka Hamzah Fansuri merupakan perpaduan
antara ruba’I Persia dengan Pantun Melayu. Beliau juga yang memperkenalkan
pengguaan bahasa Indonesia sebagai bahasa Melayu Lingua Franca. Bahasa ii bukan
hanya digunakan sebagai bahasa intelektual, juga sebagai bahasa komunikasi
dalam berbagai kegiatan di Nusantara.
Dalam bidang keilmuan tafsir, Hamzah
Fansuri telah mempelopori penggunaan metode takwil. Hal ini dapat dilihat dalam
karyanya Asrarul Arifin, yang banyak mengutip ayat al-qur’an kemudian
menganalisanya dengan sangat tajam.
Syamsuddin
al-Sumaterani juga merupakan seorang ulama Aceh
pada abad ke-16 M. Ia memiliki peran penting di kerajaan Aceh Darussalam.
Pernah pada suatu ketika ia diminta unruk membacakan surat yang dikirim
Portugis untuk Sultan Alau’uddian Ri’ayat Syah al-Mukammil. Surat itu
kemungkinan adalah permohonan bangsa Portugis unmtuk menjalin hubungan
perdagangan dengan kerajaan Aceh Darussalam. Syamsuddin al-Sumaterani juga
mempunyai posisi penting dalam bidang keagamaan. Hal itu dapat dilihat dari
cerita bahwa Sultan Iskandar Muda meminta Syekh Syamsuddin al-Sumaterani untuk
melakukan penyembelihan hewan.kurban selepas sholat Id di Masjid Baiturrahim,
karena kedudukan beliau sebagai Qadli juga kedekatannya dengan Sultan Iskandar
Muda sebagai seorang Syekh al Islam yang sangat dihormati raja dan rakyatnya.
Karya beliau dibakar pada masa Sultan
Iskandar Tsani (w. 1641 M) karena ajarannya dianggap sesat dalam doktrin
wujudiah, oleh Nuruddin al_raniri.
Nuruddin
Ar-Raniri tidak diketahui tanggal dan tahun
kelahirannya. Beliau wafat tahun 1068 H / 1658 M. dilahirkan di Ranir (sekarang
Render) sebuah pelabuhan tua di Gujarat. Ayahnya berasal dari keluarga imigran
seorang Hadramaut, Arab Selatan yang menetap di Gujarat India. Meski keturunan
Arab beliau lebih dikenal sebagai ulama Melayu.
Dari beberapa karyanya, al-Raniri
sangat mengenal dunia Melayu. Pengetahuan tentang Melayu diperolehnya dari ibu
dan Pamannya yang bernama Muhammad Jilani.
Al-Raniri belajar ilmu agama selain
kepada ayahnya juga di tanah leluhur, Hadramaut. Setelah itu ia melanjutkan
pendidikannya ke Haramain pada tahun 1030 H / 1620 Mdan menetap di sana setelah
menjalani ibadah haji.
Perjalanan pertamanya ke Melayu dan
menetapdi sini sekitar tahun 1030 H / 1621 M. Disinilah al-Raniri diangkat
sebagai Syekh al-Islam, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani.Selama 7 tahun
ia menentang doktrin Wujudiah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
al-Sumaterani.
Menurut beberapa sumber karya
al_raniri berjumlah 29 buah yang kebanyakan berbicara soal tasawuf, fiqih,
kalam, perbandingan agama, hadis dan sejarah. Dalam bidang fiqh, al-Raniri
menekankan adanya pentingnya syari’at dalam praktik tasawuf. Salah satu
karyanya adalah Shiratal Mustaqiem, yang menjelaskan secara rinci mengenai
ajaran fiqih, mulai dari bersuci, shalat puasa dan haji.Dalam bidang aqidah
Islam menekankan agar memahami secara benaraqidah Islamiyah. Karyanya adalah
Durratul Aqaid Bisyarahal Aqaid. Dalam bidang perbandingan agama beliau menulis
Tibyan fi Ma’rifatil Adyan. Dalam karya ini menjelaskan kebenaran Islam dalam
perspektif agama-agama lain. Disini juga dijelaskan tentang ajaran-ajaran yang
dianut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani adalah ajaran sesat.
Karyanya
dalam hadis, banyak menterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Karya yang
diterjemahkan menjadi Hidayatul Habib fi Taghrib wat-Tarhih. Tahun 1054 H/1644
M, al-Raniri kembali ke tanah airnya.
Abdurrauf
Singkel lahir di Singkel pada tahun 1024 H/1615 M. Ia
memperoleh pengetahuan Islam darai ayahnya yang seorang ulama. Setelah
menyelesaikan pendidikan di Aceh ia melanjutkan ke Haramain pada tahun 1052
H/1642 M. Ada 27 ulama yang ia temui sebagai gurunya, seperti ulama Dhaha
(Qatar) Yaman, Jeddah, Makkah dan Madinah.
Di Dhaha, Qatar, Abdurrauf menuntut
ilmu kepada Abdul Qadir a-Mawrir, di Yaman ia menuntut ilmu kepada beberapa
ulama dari keluarga Ja’man, yang merupakan keluarga sufi dan ulama terkemuka di
Yaman. Mereka adalah sebagian murid-murid Ahmad Qusasi dan Ibrahim al-Qur’ani.
Mereka adalah Ibrahim bin Abdullah bin Jam’an, Ibrahim bin Andullah bin Ja’man
dan Kadi Ishak bin Muhammad bin Ja’man. Di Madinah Abdurrauf menjadi murid
Ahmad Qusasi dan Ibrahim al-Qur’ani.
Setelah memperoleh pengetahuan dan
ijazah dari Ibrahim al-Qur’ani yang
memberikan otoritas keilmuan Islam kepadanya untuk disebarkan dan diajarkan
kepada umat Islam, Abdurrauf kembali ke Aceh Darussalam pada tahun 1584 / 1661
M. Penguasa kerajaan Aceh ketika itu adalah Sulthanah Safiatuddin.
Karya tulis Abdurrauf kebanyakan dalam
bahasa Melayu, selain bahasa Arab. Diantara karya yang terkenal adalah Tafsir
Tarjumun al-Mustafid (Tafsir penafsir yang bermanfaat). Karya kedua Kitab Fiqih
Mu’amalah yaitu, al-Mir’atu Thulab fi Tashilil Ma’rifatul Ahkamus Syar’iyyah
lil Malikil Wahab (Cermin murid untuk memudahkan pengetahuan tentang hukum
syari’at yang dihadiahkan kepada raja).
Abdur Rauf Singkel adalah seorang
ulama besar yang lahir di Kota Singkil Aceh. Nama Aslinya adalah Abdur-Rauf
al-fansuri dan disebut juga Abdur Rauf as-Singkili. Ia adalah seorang yang
pertama kali mengenalkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Ia menulis berbagai
bidang ilmu seperti tafsir, hadis, fikih dan tasawuf.Kitab tafsirnya merupakan
kitab tafsir yang pertama di Indonesia.Hidup pada saat Aceh dipimpin oleh Sulthanah Safiatuddin
Tajul Alam (1641-1675 M). Beliau belajar Tarekat Syattariyah pada Ahmad Qusasi
(1583-1661 M), dan Ibrahim al-Qur’ani. Ia memperoleh Ijazah hingga memiliki hak
untuk mengajarkan kepada orang lain. Di antara muridnya yang menjadi ulama
adalah Burhanuddin Ulakan dari Pariaman.
Abdur Rauf Singkel menjadi Mufti di
Aceh pada saat dipimpin oleh Sulthanah Safiatuddin Tajul Alam. Ia berhasil
menghapus ajaran Salik Buta, sebuah tarikat yang menyesatkan yang ada di Aceh
sebelumnya. Para salik / pengikut yang tidak mau bertobat dibunuh.
Diantara karya Abdur Rauf Singkel
antara lain : Kitab tafsir Turjuman al-Mustafid (terjemah pemberi faedah),
Kitab tafsir Mir’at at-Thullab fi Tahsiil Ma’rifah Ahkam asy-Syar’iyah li
al-Malik al-Wahhab (cermin bagi penuntut ilmu fikih pada memudahkan mengenal
segala hokum syara’Allah), Kitab Tasawuf ‘Umdat al-Muhtajin (tiang orang yang
memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (pencukup para pengemban hajat), Daqa’id
al-Huruf (datail huruf), Bayan Tajalli (keterangan tentang tajalli).
Abdur Rauf Singkel menganut paham bahwa
satuy-satunya wujud hakiki adalah Allah swt. Alam ciptaannya adalah wujud
bayangan, yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki Tuhan berbeda
dengan wujud bayangan (alam) terdapat keserupaan antara kedua wujud tersebut.
Tuhan melakukan tajalli (penampakkan diri dalam bentuk alam) Secara tidak
langsung, sifat Tuhan tampak padamanusia dan secara relatif paling sempurna
pada insan kamil.
Terkait dengan pemikiran mengenai
wujud Allah swt, dalam aliran tasawufnya, bahwa beliau tidak setuju dengan
tindakan pengkafiran yang dilakukan Nuruddin Ar-Raniri terhadap pengikut Hamzah
Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani yang berpaham wahdatul wujud atau
wujudiyyah. Jika tuduhan pengkafiran tidak benar, orang yang menuduh dapat
disebut kafir.
Pandangan Abdurrauf Singkel terhadap
wahdatul wujud dinyatakan dalam buku Bayan Tajalli. Abdur Rauf Singkel dikenal dengan nama
Teungku Syiah Kuala. Nama ini diabadikan pada perguruan tinggi yang didirikan
di Banda Aceh pada tahun 1961 yaitu Universitas Kuala.
Muhammad
Yusuf bin Abdullah Abul Mahasin al-Taj al-Khawalwati al-Makassari,
dilahirkan di Moncong Loe, Goa, Sulawesi
Selatatan pada tanggal 3 Juli 1626 M / 1037 H. Ia belajar al-Qur’an kepada
Daeng ri Tamassang, guru setempat. Ia belajar tasawuf, bahasa Arab, fiqih,
tauhid kepada Sayid Ba Alwi bin Abdullah al-‘Allaham al-Thahir, seorang Arab
yang menetap di Bontoala. Setelah berusia 15 tahun ia melanjutkan pendidikannya
ke Cikoang dengan Jalaluddin Aydid, seorang guru pengembara dari Aceh ke Kutai,
sebelum sampai ke Cikoang. Setelah belajar dengan Sayid Ba Alwi, ia kembali ke
Goa, dan menikah dengan putri Sultan Goa, Sultan Ala’uddin ( 1001 – 1049 H /
1593 – 1639 M ), Syekh Yusuf meninggalkan istrinya untuk mengembara ke Banten.
Ia bertemu dengan Abul Mufakir Abdul Qadir ( 1037-1063 H / 1626-1651 M ). Ia
menjalin hubungan dengan Pangeran Surya, yang akan menggantikan kedudukan
ayahnya Sultan Abdul Qadir. Pangeran Surya kemudian bergelar Sultan Ageng
Tirtayasa.
Dariu Banten, Syekh Yusuf pergi menuju
Aceh Darussalam, guna menuntut ilmu kepada Syekh Nuruddin al-Raniri. Tetapi ia
tidak sempat belajar kepadanya karena Syekh al-Raniri sempat kembali lagi ke
Ranir, Gujarat. Setelah itu ia menuju ke Timur Tengah dan singgah dulu ke
Zabid, Yaman. Di Kota ini ia belajar kepada Muhammad bin Abdul Baqi al-Mizjaji
an Naqsabandi, Sayid Ali al-Zabidi, dan Muhammad bin Wajihas-Sa’di al-Yamani.
Disinilah ia belajar tarekat Naqsabandiyah dan Tarekat Alawiyah dari al-Zabidi.
Di Haramaian ia belajar dengan
guru-gurunya dari Singkel. Dari Ibrahim al-Qur’ani, ia memperoleh kepercayaan
untuk menyalin kitab ad-Durrah al-Fakhira (Mutiara yang Membanggakan) dan
Risalah fil-Wujud (Tulisan tentang Wujud)
Setelah itu ia melanjutkan
pengembaraannya ke Damaskus. Di kota ini ia belajar dengan Ayub bin AhmadAyub
Ad-Dimisqi al-Khalwati ). Setelah itu ia kembali ke tanah air pada tahun 1075 H
/ 1664 M, setelah 28 tahun mengembara di luar negeri. Ia tidak langsung ke Goa.
Ia menikah dengan putri Sultan Ageng Tirtayasa.
Karena Belanda merasa terancam dengan
pengaruh beliau maka Syekh Yusuf di buang ke Afrika Selatan hingga wafat pada
tanggal 22 Dzulhijjah 1111/22 Mei 1699 M.
Syekh
Abdussamad al-Palimbani lahir di Palembang tahun 1116 H /
1704 M. Ayahnya seorang sayid dari san’a, Yaman yang sering melakukan
perjalanan ke India dan Jawa, sebelum menetap di Keddah, ia diangkat menjadi
Qadli (Hakim Agung) di Kesultanan Keddah. Sekitar tahun 1112 H / 1700 M, ia
pergi ke Palembang dan menikahi wanita setempat, kemudian kembali ke Keddah
dengan membawa putranya yaitu al-Palimbani.
Di Keddah dan Patani, al-Palimbani
memperoleh pendidikan awal. Setelah itu ia dikirim ke Timur Tengah untuk
melanjutkan pendidikannya. Di Haramaian ia terlibat diskusi dengan para
ulama komunitas Jawi (Ashab al-Jawiyi).
Ia sempat bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyadal-Banjari, Abdul Wahab Bugis,
Abdurrahman al-Batawidan Daud al-Fatani.
Dalam bidang sufi ia menyebarkan
ajaran neosufisme, untuk melakukan jihad melawan kekuasaan kolonial Belanda.
Salah satu karya yang mengindikasikan hal itu adalah Nasihah al-Muslimin wa
Tazkiyarah al-Mukminin fi Fadla’ilil Jihad fi Sabilillah ( Nasihat bagi kaum
Muslimin dan Peringatan bagi Orang Beriman tentang keutamaan jihad di Jalan
Allah ) .
Diantara guru-guru beliau dari
Haramaian adalah : Muhammad bin Abdulkarim as-Samani, Muhammad bin Sulaiman
al-Kurdi dan Abdul Mun’im ad-Damanhuri. Karirnya dimantapkan di Haramaian dan
tidak kembali ke Nusantara seperti ulama lainnya hingga wafatnya tahun 1203 H /
1789 M. dalam usia 58 tahun.
MuhammadNafis
al-Banjari lahir pada tahun 1148 H / 1735 M di
Martapura. Ia belajar di Makkah bersama as-Sammani, Muhammad al- Jawhari,
Abdullah bin Hijazi as-Sarqawi, Muhammad Siddiq bin Umar Khan dan Abdurrahman
bin Abdul Aziz al-Maghribi.
Pengaruhnya di Kalimantan adalah dalam
bidang tasawuf. Karyanya adalah Ad-Durrun Nafis fi Bayanil Wahdah wal Af’alul
Asma wa Sifat wa Zatut Taqdis. Karya ini selesai pada tahun 1200 H / 1785 M.
Karya ini berkali- kali dicetak di Kairo dan Makkah. Karya lain yang belum
pernah dicetak adalah Majmu’ul Asrar Li Ahlillahil Aytar.
Muhammad
Arsyad al-Banjari lahir tahun 1122 H / 1710 M. DI
Martapura, Kalimantab Selatan. Ia memperoleh pendidikan dasar keagamaan dari
ayahnya dan dari para guru di sekitarnya. Pada umur 7 tahun beliau telah mampu
membaca al-Qur’an secara sempurna. Kemampuan tersebut menarik perhatian Sultan
Tahlilullah ( 1112-1158 H / 1700-1745 M ), sehingga ia meminta tinggal bersama
di istana, dan menikashkannya. Saat istri sedang mengandung, ia dikirim ke
Haramaian untuk menuntut ilmu atas biaya kasultanan.
Di Haramaian ia belajar bersama dengan
al-Palim Banjari selama 30 tahun. Gurunya As-Sammani, Ad-Damanhuri, Sulaiman
al-Kurdi, Athaillah al-Misri, Ibrahimar-Rais al-Zamzami. Dengan Azamzami ia
belajar falaq yang menjadikan beliau paling ahli diantara ulama Melayu di
Indonesia.Kitab karangannya adalah Sabilul Muhtadin (jalan bagi orang yang mencari petunjuk).
Dalam ilmu bathin ia menulis Kanzul Ma’rifah (gudang Pengetahuan).
Beliau menerima Tarekat Samaniyah dari
as-Samani, dan ia merupakan orang yang bertanggungjawab atas tersebarnya
Tarekat tersebut di Kalimantan. Ia menetap di Makkah selama 30 tahun dan di
Madinah 5 tahun. Ia kembali ke tanah air / Martapura tahun 1186 H / 1773 M.
Muhammad Arsyad al-Banjari adalah
ulama besar yang sangat berpengaruh dan berperanm penting dalam sejarah Islam,
khususnya di Kalimantan. Ia pernah menduduki Mufti Kasulthahanan
Banjar.Muhammad Arsyad al-Banjari lahir
di Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada tahun 1710. Ia adalah putra
tertua dari Abdullah dan Siti Amina. Setelah wafat, ia juga dikenal dengan
sebutan Datuk Kalampayan karena makamnya berlokasi di di Desa Kalampayan
(sekitar 56 km dari kota banjarmasin).
Ketika berusia tujuh tahun ia diangkat
menjadi anak angkat Sultan Tahlilullah (1700-1745). Umur 30 tahun Sulthan
mengirim ke Makkah untuk menuntut ilmu dengan biaya kerajaan. Sebelum berangkat
Sultan menikahkan dengan seoran wanita bernama Bajut, agar al-Banjari tetap
pulang ke Banjar.Selama 30 tahun ia belajar berbagai cabang ilmu. Di antara
gurunya yang terkenal adalah Syekh Attailah. Ia diberi izin mengeluarkan fatwa
di Masjidil Haram. Ia melanjutkan pendidikannya di Madinah kepada Imam Haramai,
Syekh al-Islam Muhammad bin Sulaiman a-Kurdi dan Syekh Abdul Karim as-Samani
al-Madani.
Selama belajar di tanah suci,
al-Banjari berteman akarab dengan Syekh Abdussamad al-Palimbani dari Palembang,
Abdul Wahab Bugis (Sadanring Daeng Bunga Wardiyah) dari Makassar, dam Syekh
Abdurrahman Masri dari Jakarta.
Sebenarnya al-Banjari ingin melanjutkan pendiudikan ke Mesir tetapi
Syekh al-Islam Muhammad bin Sulaiman al Kurdi menasihatkan agar mereka kembali
ke kampung untuk membina umat.
Diantara usaha usaha al-Banjari adalah
membetulkan arah kiblat seperti pada Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang
dan Masjid Pekojan. Di Mihrab Masjid Jembatan Lima di Kecamatan Tambora Jakarta
Barat tercatat dalam bahasa Arab bahwa arah masajid itru diputar ke kanan
sekitar 25 drajat olewh al-Banjari pada 4 Safar 1186 H (7 Mei 1772 M).
Al-Banjari tiba di Martapura (ibu Kota
Kasulthanan Banjar) pada bulan Ramadhan 1186 H atau Desember 1772 M. Sejak itu
hingga wafatnya (Kalampayan 6 Syawal 1227 H / 13 Oktober 1812 M) ia
menghabdikan dirnya membina masyarakat dan mengmbangkan Islam dibantu Syekh
Abdul Wahab Bugis menantunya. Syekh Abdul Wahab Bugis dinikahkan al-Banjari
dengan putrinya Syarifah di Mekkah tidak lama setelah al-Banjari menerima surat
dari Sultan Banjar bahwa istrinya telah melahirkan anak dan Sudah Dewasa.
Langkah pertama yang diambil
al-banjari setibanya di Martapura adalah membina kader-kader ulama, khususnya
di lingkungan keluarga sendiri. Untuk itu ia tidak tinggal di istana. Ia
meminta kepada Sultan agar diberi sebidang tanah yang akan digunakan sebagai
tempat tinggal, tempat pendidikan, dan pusat pengembangan Islam. Sultan
Tamjidillah (1745-1778) yang berkuasa saat itu mengabulkan permintaannya.
Al-Banjari diberi sebidang tanah kosong berupa hutan belukar, yang kemudian
diubah menjadi perkampungan, membangun rumah, tempat pengajian, perpustakaan
dan asrama para santri. Kampung itu sekarang terkenal dengan nama Dalam Pagar.
Sebuah tempat pendidikan yang pertama kali dikenalkan al-Banjari, sebuah tempat
pendiudikan yang lengkap dengan mushala, tempat belajar, kiai, perpustakaan dan
asrama untuk para santri. Disamping itu al-banjari terjun langsung ke
masyarakat.
Al-Banjari kemudian memberlakukan
hukum Islam atas anjuran Kasultanan banjar, baik hukum perdata maupun hukum
pidana. Untuk melaksankan tujuan tersebut dibentuk Mahkamah Syari’ah disamping
dibentuk lembaga kekadian. Untuk melaksanakan Mahkamah Syari’ah ini dibentuk
mufti. Mufti pertama yang ditujuk adalah Syekh Muhammad As’ad, cucu al-banjari.
Adapun kadi yang pertama yang adalah Abu Zu’ud, anak al-banjar.
Diantara hasil karya al-Bnajari
adalah, Sabilul Muhtadin (Jalan orang yang mendapat Petunjuk) Kitab ini menjadi
pegangan dan bahan pelajaran di berbagai daerah di Indonesia, Malaisyia dan
Thailan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Syekh
Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani lahir di
Tanara, Serang Banten pada tahun 1230 H / 1813 M. Ayahnya Umar bin Arabi,
adalah seorang pejabat penghulu kecamatan Tanara Banten. Ibunya seorang
muslimah yang taat asli penduduk Tanara. Sejak kecil ia belajar dari ayahnya
dalam bidang ilmu-ilmu agama.
Pada umur 15 tahun, Nawawi al-Bantani
pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji, dan tinggal / menetap di Makkah
selama tiga tahun. Ia belajar dengan Sayid Ahmad bin Sayid Abdurrahman
an-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan di
Madinah, ia berguru kepada Syekh Muhammad Khatib Sambas al-Hambali. Di Mesir ia
berguru kepada Yusuf Samulaweni, Nahrawi dan Abdul Hamid Dahastani.
Pada tahun 1833, Syekh Nawawi
al-Bantani kembali ke Banten. Tahun 1855 M ia berangkat ke Haramain dan menetap
di sana hingga akhir hayatnya tahun 1314 /1897.Ia mengajar di Masjidil Haam
sejak tahun 1860 M, khususnya di Ma’bad Nashr al-Ma’arif ad-Diniyah. Beliau
mendapat gelar Syekh al-Hijaz.
Ia memiliki lebih dari 3000 murid. Diantara murid yang berasal
dari Melayu adalah KH. Hasyim As’ari, KH. Akhmad Khalil, KH. Ilyas dan KH. TB.
Muhammad Asnawi dari Caringin. Ia menulis lebih dari 100 buah buku yang
berkisar dalam bidang tafsir, fiqih, tauhid, tasawuf, tata bahasa Arab, hadis
dan akhlak. Dalam bidang tafsir karyanya adalah Tafsir al-Munir atau Tafsir
Marah Labid.
Syekh
Ahmad Khatib Minangkabau, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat
pada tahun 1276 H / 1855 M. Ayahnya adalah seorang Jaksa di Padang, sedangkan
ibunya adalah seorang anak dari Tuanku Nan Renceh, seorang ulama terkemuka dari
golongan Paderi.Ahmad Khatib kecil mendapat pendidikan awal pada sekolah yang
didirikan oleh Belanda yaitu sekolah rendah dan sekolah guru di daerahnya.
Tahun 1876 M, Ahmad Khatib melanjutkan pendidikan agama di Makkah, tempat kelak
ia memperoleh kedudukan tinggi dalam mengajarkan agama dan Imam dari mazdhab
syafi’I di Masjidil Haram.
Meski tidak kembali ke tanah air,
namun beliau sangat gigih dalam mempropagandakan pembaharuan, terutama yang
berkaitan dengan Minangkabau. Gagasan pembaharuannya di bawa oleh para jama’ah
haji dari Melayu serta para murid –muridnya. Diantara murid-muridnya adalah,
Syekh Tahir Jalaluddiin al-Azhari (1869-1956), Syekh Muhammad Jamil Jambek
(1860-1947), Haji Karim Amrullah (1879-1945), dan Haji Abdullah Amad
(1878-1933).
Diantara gagasan pembaharuan Islam
yang dilakukan Syekh Akhmad Khatib adalah menekenkan pada pentingnya syari’at
dan menolak tarekat. Karyanya adalah Izhar Zugalul Kadzibin yang berisi
penolakan terhadap praktik tarekat Naqsabandiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar